Pengarang : Ratra Adya Airawan
Keyword : Tasawuf, Kecerdasan Emosi, Spiritual
Tasawuf merupakan metode dalam menggali potensi spiritualitas dalam diri individu secara islami. Ajaran tasawuf berkembang dari pemikiran sufi yang muncul di Timur Tengah pada abad ke-8. Dalam perkembanganya ajaran ini berupaya untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, serta memperoleh kebahagiaan yang abadi. Lahirnya tasawuf merupakan sebuah kontroversi teologis dalam dunia islami, baik dalam faktor kesimpang siuran literatur sejarah atau perbedaan pandang terhadap pemikiran-pemikiran ahli agama.
Penulis secara pribadi lebih menekankan
pengalaman-pengalaman subyektif dalam memahami proses peningkatan kecerdasan
emosi dengan metode tasawuf. Karena pengalaman spiritual tiap individu berbeda
dengan yang lain dan bersifat subyektif yang kebenarannya sangat sulit untuk
dibuktikan secara empirik. Selain itu, penulis banyak menukil kata-kata yang
dihasilkan oleh para ulama tasawuf yang mencerminkan upaya dalam mengendalikan
emosi dalam diri. Sehingga disini penulis memiliki pemikiran bahwa terdapat
keterikatan antara kecerdasan emosi dalam konsep faham tasawuf. Sebagaimana
salah satu peran tasawuf adalah merupakan upaya dalam menjernihkan akhlaq.
Akhlaq sendiri merupakan suatu perilaku konsisten yang dilakukan karena proses
belajar yang mengarah pada koridor-koridor agama ataupun nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat.
Kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian,kesadaran emosional mencakup
kesadaran diri,pengatauran diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Kesadaran
diri berarti mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan
menggunakannya untuk pengambilan keputusan diri sendiri,memiliki tolak ukur
yang realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengaturan
diri ialah menangani emosi sehingga berampak positif pada pelaksanaan tugas.
Motivasi berarti menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun kita pada tujuan. Empati adalah merasakan apa yang dirsakan orang
lain. Dan keterampilan sosial yaitu menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan
sosial. Dengan demikian, unsur-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam
tasawuf, sehingga orang yang mengamalkan tasawuf dengan baik, maka ia juga
cerdas secara emosional.
Menurut pemikiran penulis, Implementasi
tasawuf sendiri lebih banyak mengarah pada pemahaman hati dan bagaimana
menyikapi emosi-emosi yang terjadi pada diri sendiri. Kemudian merefleksikan
emosi-emosi tersebut dengan perilaku yang tentunya sesuai dengan norma-norma
agama. Ulama tasawuf terkenal Maulana Jalaludin Rumi mengibaratkan emosi
sebagai tamu melalui sajaknya:
“
Manusia ibarat suatu pesanggrahan. Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang
datang: kegembiraan, kesedihan, ataupun keburukan; lalu kesadaran sesaat datang
sebagai suatu pengunjung yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua,
sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita. Sambut dan hibur mereka semua,
sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu.
Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah para
utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika
kau bertemu dengan pikiran yang gelap, atau kedengkian, atau beberapa prasangka
yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka masuk ke
dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu,
sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.”
Dari sajak tersebut secara eksplisit
menerangkan bagaimana menyikapi emosi-emosi yang terjadi dalam diri kita, baik
itu emosi yang buruk ataupun yang baik. Emosi yang terjadi dalam diri kita diibaratkan tamu yang datang berkunjung dalam
hati dan pikiran. Kita sebagai tuan rumah berupaya dengan baik untuk mengenali
dan memahami tamu-tamu emosi tersebut sehingga diharapkan diri pribadi
mendapatkan ketenangan. Ketenangan tersebut memberikan jeda dari emosi yang
terjadi. Jeda ini adalah kesempatan bagaimana sebaiknya merespon emosi-emosi
tersebut secara bijaksana melalui proses
kognitif dan afektif yang berjalan sesuai koridor nilai-nilai moral dan konsep
teologi islami.
Penelitian neurologi membuktikan bahwa
nilai-nilai spiritual memiliki peranan penting untuk menunjang aktivitas
positif dalam diri individu. Dalam perkembangan konteks psikologi, spiritual
memiliki peran yang salah satunya adalah sebagai psikoterapi untuk mengatasi
kasus-kasus psikologis. Taufiq Paisak dalam bukunya menerangkan mengenai terapi
RCT (Religious Cognitive Behavioral
Therapy) yang merupakan perkembangan dari CBT (Cognitive Behavirol Therapy), menyimpulkan bahwa terapi tersebut
memungkinkan penderita anxiety dapat
disembuhkan dengan memodifikasi dan mengubah cara pandang penderita terhadap
masalah yang dihadapi melalui pendekatan religius. Berikut terdapat beberapa
ayat Al-Quran yang relevan dengan CBT pada penderita kecemasan (anxiety):
Jika
datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa mengikut petunjuk-Ku, niscaya
tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS
Al-Baqarah : 216)
Boleh
jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah SWT, mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui (QS Al-Baqarah : 216)
Firman dalam Al-Quran tersebut merupakan
pernyataan yang mampu memberikan stimulus secara spiritual agar kita mampu
memahami diri agar tidak terlalu mencemaskan apa yang telah terjadi. Hal itu
merupakan trigger untuk memunculkan motivasi pada penderita anxiety. Motivasi tersebut merupakan
salah satu aspek kecerdasan emosi agar kita dapat mengendalikan diri terhadap
rangasang-rangsangan dari luar yang mempengaruhi emosi melalui koridor-koridor
religius.
Menurut Ali Ibn Muhammad ad-Dhihami, dalam Al-quran
juga menerangkan bahwa jiwa atau nafs terdapat
tiga penyeru yang saling tarik menarik. Yaitu Nafs Muthma’innah (nafsu yang tenang), Nafs Lawwamah (nafsu yang sering mencela), dan Nafs Ammarah (nafsu yang memerintahkan kejahatan). Al-quran juga
menyerukan agar manusia selalu kembali
kepada Nafs Muthma’innah yaitu dalam
firman-Nya, “Hai jiwa (nafsu) yang
tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Masuklah
ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (QS.
Al-Fajr : 27-30).
Perasaan tenang dalam diri memiliki kendali
yang mudah (Low Control), sehingga
memberikan kemudahan dalam mengendalikan emosi-emosi yang terjadi pada diri
kita. Hal tersebut telah penulis alami ketika mengalami emosi-emosi yang
terjadi, maka perasaan yang tenang memberikan kesempatan untuk menyikapi emosi
dengan bijaksana tanpa terhanyut dalam emosi tersebut. Kita ambil contoh ketika
kita mengalami emosi marah dalam diri kita, dalam kecerdasan emosional kita
dituntut untuk mengendalikan emosi marah tersebut dengan bersabar atau dengan
tidak menimbulkan perilaku yang
merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Namun hal tersebut tidak serta merta
kita mampu menekan emosi marah tersebut. Perlu adanya cooling down yaitu proses menuju nilai netral dalam perasaan dari
emosi-emosi negatif yang mempengaruhi diri. Persaan yang tenang tersebutlah
yang memiliki nilai netral dan berpotensi untuk mengendalikan emosi dari dalam
diri.
Tasawuf sebagai ilmu untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, memiliki metode tersendiri selain kewajiban-kewajiban sebagai
muslim sesuai dengan hadist dan Al-Quran. Dalam konsep pemahaman tasawuf, guna
menenangkan hati dikenal dengan istilah dzikir
bil sirr yang artinya dzikir di dalam hati. Hal ini sejalan dengan konsep
di Al-Quran yaitu, ”Hai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah kepada Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab(33) : 41-42).
Dzikir yang dimaksud disini adalah dzikir yang
senantiasa diucapkan di dalam hati, sehingga diharapkan pribadi yang
mengamalkan tasawuf sebagai metode pendekatan kepada Allah SWT selalu
mengingat-Nya dalam segala situasi. Agus Mustofa dalam bukunya mengenai dzikir
tauhid berhasil melakukan modifikasi terhadap fungsi peralatan kamera aura. Kamera
tersebut bekerja berdasarkan sensor getaran yang dihasilkan oleh jiwa.
Menurutnya, gelombang getaran yang dihasilkan dari kamera tersebut mampu
menunjukkan kemampuan kontrol diri. Dalam keadaan dzikir yang khusyuk mampu
menghasilkan keadaan jiwa yang tenang, tawadhu’,
sabar, ikhlas, dan berserah diri kepada Allah akan menghasilkan aura yang
berwarna putih. Berbeda dengan kondisi emosi yang tidak stabil, misalnya bila
sedang marah emosi negatif lainnya. Dengan menggunakan kamera aura tersebut
hasil warna aura yang dihasilkan berwarna merah.
Penulis mengakui bahwa belum melakukan
observasi terhadap peralatan tersebut, namun secara subyektif mengakui bahwa
terdapat gelombang yang memancarkan dalam diri tiap individu yang memancarkan
energi dan mempengaruhi suasana hati kita. Misalnya ketika kita melihat
seseorang yang sedang marah atau sedih, hati kita memungkinkan untuk
“merasakan” energi kemarahan atau kesedihan tersebut.
Kesimpulan & Penutup
Terdapat keterkaitan antara spiritual dengan
kecerdasan emosi seseorang, dimana keadaan spiritual yang baik mampu
menghasilkan keadaan emosi yang stabil. Spiritual memiliki cakupan yang sangat
luas walaupun erat kaitannya dengan religius. Tiap belahan dunia memiliki
metode-metode tersendiri dalam meningkatkan spiritualitas seseorang seperti
meditasi, yoga, dan lain sebagainya. Dalam perspektif psikologi manfaat
spiritual memiliki peran sebagai proses psikoterapi terhadap gangguan-gangguan
psikologis. Selain itu, manfaat tersebut dapat meningkatkan kualitas pengendalian
emosi dalam diri.
Tasawuf merupakan salah satu metode menggali
potensi spiritual dalam diri secara islami. Metode dalam meningkatkan
spiritualitas dalam tasawuf memang sangat luas dan perlu pengkajian yang lebih
mendalam. Menurut pengalaman subyektif penulis, menyimpulkan bahwa hubungan
yang baik secara vertikal antara Sang Pencipta dengan hamba-Nya akan
menghasilkan energi yang baik dalam diri sebagai motivasi untuk meningkatkan
hubungan baik secara horizontal antara individu satu dengan yang lain.
Penulis hanya mampu memberikan gambaran secara
umum walaupun tidak terperinci dikarenakan keterbatasan literatur dan
pemahaman, penulis hanya memberikan secara garis besar mengenai metode tasawuf.
Sebenarnya masih banyak metode-metode yang perlu dijelaskan dalam tasawuf dan
meningkatkan kecerdasan emosi. Walaupun banyak kekurangan dalam penulisan,
diharapkan artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
RUJUKAN
Goleman,
Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer.
Jakarta: Arcan.
Pasiak, Taufik. 2012. Tuhan Dalam Otak Manusia. Bandung: Mizan
Media Utama
Mustofa, Agus. 2006. Dzikir Tauhid: Serial Ke-9 Diskusi Tasawuf
Modern. Surabaya: Padma Press
Ad-Dihami, Ali Ibn Muhammad. Mengendalikan Hawa Nafsu: Upaya
Meraih Ridha Allah. Terjemahan oleh Hariman Muttaqin. Jakarta: Qisthi Press
http://www.puisikita.com/p/puisi-jalaluddin-rumi.html
id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_spiritual